mesumsexindo - Namaku Veronika. Aku adalah seorang ibu rumah tangga. Usiaku 42 tahun. Suamiku namanya Prasetyo,umur 47 tahun, seorang pegawai pemerintahan di kota B. Aku bahagia dengan suami dan kedua anakku. Suamiku seorang laki-laki yang gagah dan bertubuh besar, biasalah dulu dia seorang tentara. Penampilanku sendiri walaupun sudah berumur tapi sangat terawat karena aku rajin ke salon, fitnes dan yoga. Kata orang, ku mirip seperti Donna Harun. Tubuhku masih bisa dikatakan langsing, walaupun payudaraku termasuk besar karena sudah punya anak 2.
Anakku yang pertama bernama Rika, seorang gadis remaja yang beranjak dewasa. Dia baru saja masuk ke PTN Favorit. Yang kedua namanya Sangga, masih sekolah SMA kelas 2. Si Rika walaupun tinggal serumah dengan kami tapi lebih sering menghabiskan waktu di tempat kosnya di kawasan Gejayan. Kalau si Sangga, karena cowok remaja, lebih sering berkumpul dengan teman-temannya atau pun sibuk berkegiatan di sekolahnya.
Semenjak tidak lagi sibuk mengurusi anak-anak, kehidupan sex ku semakin tua justru semakin menjadi-jadi. Apalagi suamiku selain bertubuh kekar, juga orang yang sangat terbuka soal urusan sex. Akhir-akhir ini, setelah anak-anak besar, kami berlangganan internet. Aku dan suamiku sering browsing masalah-masalah sex, baik video, cerita, atau pun foto-foto. Segala macam gaya berhubungan badan kami lakukan.
Kami bercinta sangat sering, minimal seminggu 3 kali. Entah mengapa, semenjak kami sering berseluncur di internet, gairah seksku semakin menggebu. Sebagai pejabat, suamiku sering tidak ada di rumah, tapi kalau pas di rumah, kami langsung main kuda-kudaan, hehehe.
Sudah lama kami memutuskan untuk tidak punya anak lagi. Tapi aku sangat takut untuk pasang spiral. Dulu aku pernah mencoba suntik dan pil KB. Tapi sekarang kami lebih sering pakai kondom, atau lebih seringnya suamiku ‘keluar’ di luar. Biasanya di mukaku, di payudara, atau bahkan di dalam mulutku. Pokoknya kami sangat hati-hati agar Sangga tidak punya adik lagi. Dan tenang saja, suamiku sangat jago mengendalikan muncratannya, jadi aku tidak khawatir dia muncrat di dalam rahimku.
Sebagai wanita berumur, tubuhku termasuk sintal dan seksi. Payudaraku memang sudah agak melorot, tapi tentu saja lumrah seperti itu karena ukurannya yang memang termasuk besar. Tapi yang jelas, bodiku masih semlohai karena aku masih punya pinggang walapun pantatku termasuk besar. Aku sadar, kalau tubuhku masih tetap sanggup membuat para pria menelan air liurnya. Apalagi aku termasuk ibu-ibu yang suka pakai baju yang agak ketat. Sudah kebiasaan sih dari remaja. Apalagi sekarang susuku tambah besar.
Suamiku termasuk seorang pejabat yang baik. Dia ramah pada setiap orang. Di kampung dia termasuk aparat yang disukai oleh para tetangga. Apalagi suamiku juga banyak bergaul dengan anak-anak muda kampung. Kalau pas di rumah, suamiku sering mengajak anak-anak muda untuk bermain dan bercakapcakap di teras rumah.
Semenjak setahun yang lalu, di halaman depan rumah kami dibangun semacam gazebo untuk nongkrong para tetangga. Setelah membeli televisi baru, televisi lama kami taruh di gazebo itu sehingga para tetangga betah nongkrong di situ. Yang jelas, banyak bapak-bapak yang curi-curi pandang ke tubuhku kalau pas aku bersih-bersih halaman atau ikutan nimbrung sebentar di tempat itu. Maklumlah, aku khan ibu-ibu yang semlohai, hehehe.
Selain bapak-bapak, ada juga pemuda dan remaja yang sering bermain di rumah. Salah satunya karena gazebo itu juga dipergunakan sebagai perpustakaan untuk warga. Salah satu anak kampung yang paling sering main ke rumah adalah Eki, yang masih SMP kelas 2. Dia anak tetangga kami yang berjarak 3 rumah dari tempat kami. Anaknya baik dan ringan tangan. Sama suamiku dia sangat akrab, bahkan sering membantu suamiku kalau lagi bersih-bersih rumah, atau membelikan kami sesuatu di warung. Sejak masih anak-anak, Eki dekat dengan anak-anak kami, mereka sering main karambol bareng di gazebo. Bahkan kadang-kadang Eki menginap di situ, karena kalau malam gazebo itu diberi penutup oleh suamiku, sehingga
tidak terasa dingin
Pada suatu malam, aku dan suamiku sedang bermesraan di kamar kami. Semenjak sering melihat adegan blowjob di internet, aku jadi kecanduan mengulum kontol suamiku. Apalagi kontol suamiku adalah kontol yang paling gagah sedunia bagiku. Tidak kalah dengan kontol-kontol yang biasa kulihat di BF. Padahal dulu waktu masih manten muda aku selalu menolak kalau diajak blowjob. Entah kenapa sekarang di usia yang sudah lebih 42, aku justru tergila-gila mengulum batang suamiku. Bahkan aku bisa orgasme hanya dengan mengulum batang besar itu. Tiap nonton film blue pun mulutku serasa gatal. Kalau pas tidak ada suamiku, aku selalu membawa pisang kalau nonton film-film gituan. Biasalah, sambil nonton sambil makan pisang, hehehe
Malam itu pun aku dengan rakus menjilati kontol suamiku. Bagi mas Prasetyo, mulutku adalah tempik keduanya. Dengan berseloroh, dia pernah bilang kalau sebenarnya dia sama saja sudah poligami, karena dia punya dua lubang yang sama-sama hotnya untuk dimasuki. Ucapan itu ada benarnya, karena mulutku sudah hampir menyerupai tempik, baik dalam mengulum maupun dalam menyedot. Karena kami menghindari kehamilan, bahkan sebagian besar sperma suamiku masuk ke dalam mulutku.
Malam itu kami lupa kalau Eki tidur di gazebo depan. Seperti biasa, aku teriak-teriak pada waktu kontol suamiku mengaduk-aduk isi memekku. Suamiku sangat kuat. Malam itu aku sudah berkali-kali orgasme, sementara suamiku masih segar bugar dan menggenjotku terus-menerus. Tiba-tiba kami tersentak ketika kami mendengar suara berisik di jendela.Segera suami mencabut batangnya dan membuka jendela. Di luar nampak Eki dengan wajah kaget dan gemetaran ketahuan mengintip kami. Suamiku nampak marah dan melongokkan badannya keluar jendela. Eki yang kaget dan ketakutan meloncat ke belakang. Saking kagetnya, kakinya terantuk selokan kecil di teras rumah. Eki terjerembab dan terjungkal ke belakang. Suamiku tak jadi marah, tapi dia kesal juga.
“Walah, Ndun! Kamu itu ngapain?” bentaknya
Eki ketakutan setengah mati. Dia sangat menghormati kami. Suamiku yang tadinya kesal pun tak jadi memarahinya. Eki gelagepan. Wajahnya meringis menahan sakit, sepertinya pantatnya terantuk sesuatu di halaman.
Aku tadinya juga sangat malu diintip anak ingusan itu. Tapi aku juga menyayangi Eki, bahkan seperti anakku sendiri. Aku juga sadar, sebenarnya kami yang salah karena bercinta dengan suara segaduh itu. Aku segera meraih dasterku dan ikut menghampiri Eki.
“Aduh, mas. Kasian dia, gak usah dimarahin. Kamu sakit Ndun?” Aku mendekati Eki dan memegangi
tangannya. Wajah
Eki sangat memelas, antara takut, sakit, dan malu.
“Sudah gak papa. Kamu sakit, Ndun?” tanyaku. “Sini coba kamu berdiri, bisa gak?”
Karena gemeteran, Eki gagal mencoba berdiri, dia malah terjerembab lagi. Secara reflek, aku memegang punggungnya, sehingga kami berdua menjadi berpelukan. Dadaku menyentuh lengannya, tentu saja dia dapat merasakan lembutnya gundukan besar dadaku karena aku hanya memakai daster tipis yang sambungan, sementara di dalamnya aku tidak memakai apa-apa lagi.
“Aduh sorri, Ndun,” pekikku.
Tiba-tiba suamiku tertawa. Agak kesal aku meliriknya, kenapa dia menertawai kami? “Aduh, Mas ini. Ada
anak jatuh kok malah ketawa,”
“Hahaha.. lihat itu, Dik. Si Eki ternyata udah gede, hahaha…” kata suamiku sambil menunjuk selangkangan
Eki
Weitss… ternyata mungkin tadi Eki mengintip kami sambil mengocok, karena di atas celananya yang agak melorot, batang kecilnya terlihat mencuat ke atas. Kontol kecil itu terlihat sangat tegang dan berwarna kemerah-merahanan. Malu juga aku melihat adegan itu, apalagi si Eki. Dia tambah gelagepan.
“Hussh, Mas. Kasihan dia, udah malu tuh,” kataku yang justru menambah malu si Eki.
“Kamu suka lihat barusan, Ndun? Wah, hayooo… kamu nafsu ya lihat Bu Veronika?” goda suamiku. Dia
malah ketawa-ketawa sambil berdiri di belakangku
Tentu saja wajah Eki jadi tambah memerah, walaupun tetap saja kontol kecilnya tegak berdiri. Kesal juga aku
sama suamiku. Udah gak menolonng malah menertawakan anak ingusan itu.
“Huh, Mas… mbok jangan godain dia, mbok tolongin nih, angkat dia!”
“Lha dia khan udah berdiri.. ya tho, Ndun? Wakakak,” kata suamiku.
Aku sungguh tidak tega melihat muka anak itu yang merah padam karena malu. Aku segera berdiri mengangkang di depannya dan memegangi dua tangannya untuk menariknya berdiri. Berat juga badannya. Kutarik kuat-kuat, akhirnya dia terangkat juga. Tapi baru setengah jalan, mungkin karena dia masih gemetar dan aku juga kurang kuat, tiba-tiba justru aku yang jatuh menimpanya.
Ohhh… aku berusaha untuk menahan badanku agar tidak menindih anak itu, tapi tanganku malah menekan dada Eki dan membuatnya jatuh terlentang sekali lagi. Bahkan kali ini, aku ikut jatuh terduduk di pangkuannya. Dan… ohhhh!
Sleppp… terasa sesuatu masuk tepat di tempikku.
Waah…!! Aku tersentak dan sesaat bingung apa yang terjadi, begitu juga dengan Eki, wajahnya nampak sangat ketakutan. “Aduuuhhh!” teriakku. Sementara suamiku justru tertawa melihat kami jatuh lagi.
Tiba-tiba aku sadar apa yang masuk tepat di lobang tempikku, ternyata kontol kecil si Eki! Kontol itu dengan mudah masuk ke tempikku karena di samping tempikku masih basah sisa persetubuhanku dengan suamiku, juga karena aku tidak mengenakan apa-apa di balik daster pendekku.
Ohhhhh… apa yang terjadi? pikirku. Mungkin juga karena kontol Eki yang masih imut dan lobang tempikku yang biasa digagahi kontol besar suami, jadinya sangat mudah diselipin batang kecil itu.
“Ohhh.. Masss?!!” desisku pada suamiku. Kali ini suamiku berhenti tertawa dan agak mendongal kaget.
“Kenapa, Dek?” tanyanya heran.
kami bertiga sama-sama kaget, suamiku nampaknya juga menyadari apa yang terjadi. Dia mendekati kami, dan melihat bahwa batang Eki sudah amblas di lobang tempikku. Beberapa saat kami bertiga terdiam bingung dengan apa yang terjadi. Aku merasakan kontol Eki berdenyut-denyut di dalam lobangku. Lobangku juga segera meresponnya, mengingat rasa tanggung setelah persetubuhanku dengan suamiku yang tertunda.
Aku mencoba bangkit, tapi entah kenapa, kakiku jadi gemetar dan kembali selangkanganku menekan tubuh si Eki. Tentu saja kontolnya kembali menusuk lobangku. Ohhh… aku merasakan sensasi yang biasa kutemui kala sedang bersetubuh.
“Ohhh…” desisku.
“Ahhh…” Eki ikut terpekik tertahan. Wajahnya memerah. Tapi aku merasakan pantatnya sedikit dinaikkan
merespon selangkanganku.
Slepppp…!! kembali kontol itu menusuk ke dalam lobangku. Yang mengherankan, suamiku diam saja, entah karena dia kaget atau apa. Hanya aku lihat wajahnya ikut memerah dan sedikit membuka mulutnya, mungkin bingung juga untuk bereaksi dengan situasi aneh ini.
Aku diam saja menahan napas sambil menguatkan tanganku yang menahan tubuhku. Tanganku berada di sisi kanan dan kiri si Eki. Sementara Eki dengan wajah merah padam menatap mukaku dengan panik. Agak mangkel juga aku lihat mukanya, panik, takut, tapi kok kontolnya tetap tegang di dalam tempikku. Dasar anak mesum, pikirku.
Tapi aneh juga, aku justru merasakan sensasi yang luar biasa dengan adanya kontol anak yang sudah kuanggap saudaraku sendiri itu di dalam tempikku. Agak kasihan juga melihat mukanya, dan juga muncul rasa sayang. Pikirku, kasihan juga anak ini, dia sangat bernafsu mengintip kami, dan juga apalagi yang dikawatirkan, karena kontolnya sudah terlanjur menusuk ke dalam tempikku.
Aku melirik suamiku sambil tetap duduk di pangkuan si Eki. Suamiku tetap diam saja. Agak kesal juga aku lihat respon mas Prasetyo. Tiba-tiba pikiran nakal menyelimuti. Kenapa tidak kuteruskan saja persetubuhanku dengan Eki, toh kontolnya sudah menancap di tempikku. Apalagi kalau lihat muka hornynya yang sudah di ubun-ubun, kasihan lihat Eki kalau tidak diteruskan.
Dengan nekat aku pun kembali menekan pantatku ke depan. Tempikku meremas kontol Eki di dalam. Merasakan remasan itu, Eki terpekik kaget. Suamiku mendengus kaget juga.
“Dik, a-a-apa yang kau lakukan?” kata suamiku gagap.
Aku diam saja, hanya saja aku mulai menggoyang pantatku maju mundur. Suamiku melongo sekarang. Wajahnya mendekat melihat mukaku setengah tak percaya. Eki tidak berani melihat suamiku.
Dia menatap wajahku keheranan dan penuh nafsu. “Mas… aku teruskan saja ya, kasihan si Eki. Apalagi khan sudah terlanjur masuk, toh sama saja…” bisikku berani.
Aku tak bisa lagi menduga perasaan suamiku. Kecelakaan ini benar-benar di luar perkiraan kami semua. Tapi suamiku memegang pundakku, yang kupikir mengijinkan kejadian ini. Entah apa yang ada di pikiranku, aku tiba-tiba sangat ingin menuntaskan nafsu si Eki.
“Ahh… hh.. hh… ughh!!” Si Eki mengerang-erang sambil tetap berbaring di rerumputan di halaman rumah
kami.
Kembali aku memaju-mundurkan pantatku sambil meremas-remas kontol kecil itu di dalam lobangku. Remasanku selalu bikin suamiku tak tahan karena aku rajin ikut senam. Apalagi ini si Eki, anak ingusan yang tidak berpengalaman.
Tiba-tiba, karena sensasi yang aneh ini, aku merasakan orgasme di dalam vaginaku. Jarang aku orgasme secepat itu. Aku merintih dan mengerang sambil memegang erat lengan suamiku. Banjir mengalir dalam lobangku. Otomatis remasan dalam tempikku menguat, dan kontol kecil si Eki dijepit dengan luar biasa.
Eki meringis dan mengerang. Pantatnya melengkung naik dan… crooooott-crooooott-crooooott…!! Cairan
panasnya meledak membanjiri rahimku.
Aku seperti hilang kendali, semua tiba-tiba gelap dan aku diserbu oleh badai kenikmatan… Ohh, aku terkulai lemas sambil menunduk menahan tubuhku dengan kedua tangan. Nafasku terengah-engah tidak karuan. Sejenak aku diam tak tahu harus bagaimana.
Aku dan suamiku saling berpandangan. “Dik, I-Eki gak p-pakai kondom.” kata suamiku terbata-bata. Kami sama-sama kaget menyadari bahwa percintaan itu tanpa pengaman sama sekali, dan aku telah menerima banyak sekali sperma dalam rahimku, sperma si anak ingusan. Ohh… tiba-tiba aku sadar akan risiko dari persetubuhan ini. Aku dalam masa subur, dan sangat bisa jadi aku bakalan mengandung anak dari
Eki, bocah SMP yang masih ingusan. Oohhhh…
Pelan-pelan aku berdiri dan mencabut kontol Eki dari tempikku. Kontol itu masih setengah berdiri dan berkilat basah oleh cairan kami berdua. Aku dan suamiku menghela nafas. Cepat-cepat aku memperbaiki dasterku. Dengan gugup, Eki juga menaikkan celananya dan duduk ketakutan di rerumputan
“Ma-ma’af, Bu..” akhirnya keluar juga suaranya.
Aku menatap Eki dengan wajah seramah mungkin. Suamiku yang akhirnya pegang peranan.
“Sudahlah, Ndun. Sana kamu pulang, mandi dan cuci-cuci!” perintahnya tegas.
“Iya, om. Ma-maaf ya, Om,” kata Eki sambil menunduk
Segera dia meluncur pergi lewat halaman samping.
“Masuk!” suamiku melihat ke arahku dengan suara agak keras.
Gemetar juga aku mendengar suamiku yang biasanya halus dan mesra padaku. Aduuh, apa yang akan
terjadi?
Kami berdua masuk ke rumah, aku tercekat tidak bisa mengatakan apa-apa. Tiba-tiba pikiran-pikiran buruk menderaku, jangan-jangan suamiku tak memaafkanku. Ohh, apa yang bisa kulakukan?
Di dalam kamar tangisanku pecah. Aku tak berani menatap suamiku. Selama ini aku adalah istri yang setia dan bahagia bersama suamiku, tapi malam ini… tiba-tiba aku merasa sangat-sangat kotor dan hina. Agak lama suamiku membiarkanku menangis. Pada akhirnya dia mengelus pundakku.
“Sudahlah bu, ini khan kecelakaan.” katanya.
Hatiku sangat lega. Aku menatap suamiku, dan mencium bibirnya. Tiba-tiba aku menjadi sangat takut
kehilangan dia. Kami berpelukan lama sekali.
“Tapi, mas… kalau aku hamil… gimana?” tanyaku memberanikan diri.
“Ah.. mana mungkin, dia khan masih ingusan. Dan kalau pun Dik Idah hamil, khan gak papa, si Sangga juga
sudah siap kalau punya adik lagi,” kata suamiku.
Jawaban itu sedikit menenangkan hatiku. Akhirnya kami bercinta lagi. Kurasakan suamiku begitu mengebugebu mengerjaiku. Apa yang ada di pikirannya, aku tak tahu, padahal dia barusan saja melihat istrinya disetubuhi anak muda ingusan. Sampai-sampai aku kelelehan melayani suamiku. Pada orgasme yang ketiga
aku pun menyerah
“Mas, keluarin di mulutku saja ya… aku tak kuat lagi,” bisikku pada orgasme ketigaku ketika kami dalam
posisi doggy.
Suamiku mengeluarkan kontolnya dan menyorongkannya ke mulutku. Sambil terbaring aku menyedotnyedot kontol besar itu. Sekitar setengah jam kemudian, mulutku penuh dengan sperma suamiku. Dengan penuh kasih sayang aku menelan semua cairan kental itu.
Hari-hari selanjutnya berlalu dengan biasa. Aku dan suamiku tetap dengan kemesraan yang sama. Kami seolah-olah melupakan kejadian malam itu. Hanya saja, Eki belum berani main ke rumah. Agak kangen juga kami dengan anak itu. Sebenarnya rumah kami dekat dengan rumah Eki, tapi aku juga belum berani untuk melihat keadaan anak itu. Hanya saja aku masih sering ketemu ibunya, dan sering iseng-iseng nanya keadaan Eki. Katanya sih dia baik-baik saja, hanya sekarang lagi sibuk persiapan mau naik kelas 3 SMP.
Seminggu sebelum bulan puasa, Eki datang ke rumah mengantarkan selamatan keluarganya. Wajahnya masih kelihatan malu-malu ketemu aku. Aku sendiri dengan riang menemuinya di depan rumah.
“Hai, Ndun, kok kamu jarang main ke rumah?” tanyaku.
“Eh.. iya, bu. Gak papa kok, Bu,” jawabnya sambil tersipu.
“Bilang ke mamamu, makasih ya,”
“Iya, bu,” jawab Eki dengan canggung. Dia bahkan tak berani menatap wajahku.
Entah kenapa aku merasa kangen sekali sama anak itu. Padahal dia jelas masih anak ingusan, dan bukan type-type anak SMP yang populer dan gagah kayak yang jago-jago main basket. Jelas si Eki tidak terlalu gagah, tapi ukuran sedang untuk anak SMP. Hanya badannya memang tinggi.
“Ayo masuk dulu. Aku buatin minum ya,” ajakku.
Eki tampak masih agak malu dan takut untuk masuk rumah kami. Siang itu suamiku masih dinas ke Kulonprogo. Anak-anak juga tidak ada yang di rumah. Kami bercakap-cakap sebentar tentang sekolahnya dan sebagainya. Sekali-kali aku merasa Eki melirik ke badanku. Wah, gak tahu kenapa, aku merasa senang juga diperhatiin sama anak itu. Waktu itu aku mengenakan kaos agak ketat karena barusan ikut kelas yoga bersama ibu-ibu Candra Kirana. Tentunya dadaku terlihat sangat menonjol.
Akhirnya tidak begitu lama, Eki pamit pulang. Dia kelihatan lega sikapku padanya tidak berubah setelah kejadian malam itu.
Hingga pada bulan selanjutnya, aku tiba-tiba gelisah. Sudah hampir lewat dua minggu aku belum datang bulan. Tentu saja kejadian waktu itu membuatku bertambah panik. Gimana kalau benar-benar jadi? Aku belum berani bilang pada Mas Prasetyo. Untuk melakukan test saja aku sangat takut. Takutnya kalau positif
Hingga pada suatu pagi aku melakukan test kehamilan di kamar mandi. Dan, deg! Hatiku seperti mau copot.
Lembaran kecil itu menunjukkan kalau aku positif hamil.
Oh, Tuhan!!
Aku benar-benar kaget dan tak percaya. Jelas ini bukan anak suamiku. Kami selalu bercinta dengan aman. Dan jelas sesuai dengan waktu kejadian, ini adalah anak Eki, si anak SMP yang belum cukup umur. Aku benar-benar bingung.
Seharian aku tidak dapat berkonsentrasi. Pikiranku berkecamuk tidak karuan. Bukan saja karena aku tidak siap untuk punya anak lagi, tapi juga bagaimana reaksi suamiku bahwa aku hamil dari laki-laki lain. Itulah yang paling membuatku bingung.
Hari itu aku belum berani untuk memberi tahu suamiku. Dua hari berikutnya, justru suamiku yang merasakan perbedaan sikapku
“Dik Idah, ada apa? Kok sepertinya kurang sehat?” tanyanya penuh perhatian.
Waktu itu kami sedang tidur bedua. Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Yang kulakukan hanya memeluk suamiku erat-erat. Suamiku membalas pelukanku
“Ada apa sayang?” tanyanya. Badan kekarnya memelukku mesra. Aku selalu merasa tenang dalam pelukan laki-laki perkasa itu.
Aku tidak berani menjawab. Suamiku memegang mukaku, dan menghadapkan ke mukanya. Sepertinya dia menyadari apa yang terjadi. Sambil menatap mataku, dia bertanya,
“Benarkah?”
Aku mengangguk pelan sambil menangis,
“Aku hamil, mas…”
Jelas suamiku juga kaget. Dia diam saja sambil tetap memelukku. Lalu dia menjawab singkat
“Besok kita ke dokter Merlin.”
Aku mengangguk, lalu kami saling berpelukan sampai pagi tiba.
Hari selanjutnya, sore-sore kami berdua menemui dokter Merlin. Setelah dilakukan test, dokter cantik itu memberi selamat pada kami berdua.
Selamat, Pak dan Bu Prasetyo. Anda akan mendapatkan anak ketiga,” kata dokter itu riang. Kami mengucapkan terimakasih atas ucapan itu, dan sepanjang jalan pulang tidak berkata sepatah kata pun.
Setelah itu suamiku tidak menyinggung masalah itu lagi, bahkan dia memberi tahu pada anak-anak kalau mereka akan punya adik baru. Anak-anak ternyata senang juga karena sudah lama tidak ada anak kecil di rumah. Bagi mereka, adik kecil akan menyemarakkan rumah yang sekarang sudah tidak lagi ada suara anak kecilnya.
Malamnya, setelah tahu aku hamil, suamiku justru menyetubuhiku dengan ganas. Aku tidak tahu apakah dia ingin agar anak itu gugur atau karena dia merasa sangat bernafsu padaku. Yang jelas aku menyambutnya dengan tak kalah bernafsu. Bahkan kami baru tidur menjelang jam 3 dini hari setelah sepanjang malam kami bergelut di atas kasur. Aku tidak tahu lagi bagaimana wujud mukaku malam itu karena sepanjang malam mulutku disodok-sodok terus oleh kontol suamiku, dan dipenuhi oleh muncratan spermanya yang sampai tiga kali membasahi muka dan mulutku.
Aku hampir tidak bisa bangun pagi harinya karena seluruh tubuhku seperti remuk dikerjain suamiku. Untungnya esok itu hari libur, jadi aku tidak harus buru-buru menyiapkan sekolah anak-anak.
Hari-hari selanjutnya berlalu dengan luar biasa. Suamiku bertambah hot setiap malam. Aku juga selalu merasa horny. Wah, beruntung juga kalau semua ibu-ibu ngidamnya kontol suami seperti kehamilanku kali ini. Hamil kali ini betul-betul beda dengan kehamilanku sebelumnya yang biasanya pakai ngidam gak karuan. Hamil kali ini justru aku merasa sangat santai dan bernafsu birahi tinggi.
Setiap malam tempikku terasa senut-senut, ada atau tak ada suamiku. Kalau pas ada ya enak, aku tinggal naik dan goyang-goyang pinggang. Kalau pas gak ada, aku yang jadi kebingungan dan akhirnya mencaricari film-film porno di internet. Sesudah itu pasti aku mainin tempekku pakai pisang, yang jadi langgananku di pasar setiap pagi, hehehe.
Yang jadi masalah adalah perlukah aku memberi tahu si Eki bahwa aku hamil dari benihnya? Aku tidak berani bertanya pada suamiku. Dia mendukung kehamilanku saja sudah sangat membahagiakanku. Aku menjadi bahagia dengan kehamilan ini. Di luar dugaanku, ternyata kami sekeluarga sudah siap menyambut anggota baru keluarga kami. Itulah hal yang sangat aku syukuri.
Pas bulan puasa, tiba-tiba suamiku melakukan sesuatu yang mengherankan. Dia mengajak Eki untuk membantu bersih-bersih rumah kami. Tentu saja aku senang karena suamiku sudah bisa menerima kejadian waktu itu. Aku senang melihat mereka berdua bergotong-royong membersihkan halaman dan bagian dalam rumah.
Eki dan Mas Prasetyo nampak sudah bersikap biasa sebagaimana sebelum kejadian malam itu. Bahkan sesekali Eki kembali menginap di gazebo kami, karena kami merasa sepi juga tanpa kehadiran anak-anak. Si Rika semakin sibuk dengan urusan kampusnya, sementara si Sangga hanya pada malam hari saja menunjukkan mukanya di rumah.
Semenjak itu, suasana di rumah kami menjadi kembali seperti sediakala. Tetap saja gazebo depan rumah sering ramai dikunjungi orang. Cuma sekarang Eki tidak pernah lagi menginap di sana. Mungkin karena hampir ujian, jadi dia harus banyak belajar di rumah.
Beberapa bulan kemudian, tubuhku mulai berubah. Perutku mulai terlihat membuncit. Kedua payudara membesar. Memang kalau hamil, aku selalu mengalami pembengkakan pada kedua payudaraku. Hormonku membuatku selalu bernafsu.
Mas Prasetyo pun seolah-olah ikut mengalami perubahan hormon. Nafsu seksnya semakin menggebu melihat perubahan di tubuhku. Kalau pas di rumah, setiap malam kami bertempur habis-habisan. Gawatnya, payudaraku yang memang sebelumnya sudah besar menjadi bertambah besar. Semua bra yang kucoba sudah tidak muat lagi, padahal bra yang kupakai adalah ukuran terbesar yang ada di toko. Kata yang jual, aku harus pesan dulu untuk membeli bra yang pas di ukuran dadaku sekarang.
Akhirnya aku nekat kalau di rumah jarang memakai bra. Kecuali kalau keluar, itupun aku menjadi tersiksa karena pembengkakan payudaraku. Aku menjadi seperti mesin seks. Dadaku besar dan pantatku membusung. Seolah tak pernah puas dengan bercinta setiap malam. Suamiku mengimbangiku dengan nafsunya yang juga bertambah besar.
Eki akhirnya tahu juga kehamilanku. Dia sering curi-curi pandang melihat perutku yang mulai membuncit. Aku tidak tahu, apakah dia sadar kalau anak dalam kandunganku adalah hasil dari perbuatannya. Yang jelas, Eki menjadi sangat perhatian padaku. Setiap sore dia ke rumah untuk membantu apa saja.
Pada suatu malam, Mas Prasetyo harus pergi dinas ke luar kota. Malam itu kami membiarkan Eki sampai malam di rumah kami, sambil membantu menjaga rumah. Aku harus ikut pengajian dengan ibu-ibu kampung. Jam setengah sepuluh malam aku baru pulang. Sampai di rumah, aku lihat Eki masih mengerjakan tugas sekolahnya di ruang tamu
“Ndun, Sangga sudah pulang?” tanyaku sambil menaruh payung karena malam itu hujan turun cukup deras.
“Belum, Bu,”
Aku lalu menelpon anak itu. Ternyata dia sedang mengerjakan tugas di rumah temannya. Aku percaya dengan Sangga, karena dia tidak seperti anak-anak yang suka hura-hura. Dia tipe anak yang sangat serius dalam belajar. Apalagi sekolahnya adalah sekolah teladan di kota kami. Jadi kubiarkan saja dia menginap di rumah temannya itu
Aku lalu berkata ke Eki,
“Kamu nginap sini aja ya, aku takut nih, hujan deres banget dan Mas Prasetyo gak pulang malam ini.” Memang aku selalu gak enak hati kalau cuaca buruk tanpa mas Prasetyo. Takutnya kalau ada angin besar dan lampu mati. Apalagi kami sudah tidak ada lagi masalah dengan kejadian waktu itu.
“Iya, bu, sekalian aku ngerjain tugas di sini,” jawab Eki.
Aku melepas kerudungku dan duduk di depan tivi di ruang keluarga. Agak malas juga aku ganti daster, dan juga ada si Eki, gak enak kalau dia nanti keingat kejadian dulu. Sambil masih tetap pakai baju muslim panjang aku menyelonjorkan kakiku di sofa, sementara si Eki masih sibuk mengerjakan kalkulus di ruang tamu.
Bajuku baju panjang terusan. Agak gerah juga karena baju panjang itu, akhirnya aku masuk kamar dan melepas bra yang menyiksa payudara bengkakku. Aku juga melepas cd ku karena lembab yang luar biasa di celah tempikku. Maklum ibu hamil. Kalau kalian lihat aku malam itu mungkin kalian juga bakalan nafsu deh, soalnya walaupun pakai baju panjang, tapi seluruh lekuk tubuhku pada keliatan karena pantat dan payudaraku memang membesar
Acara tivi gak ada yang menarik. Akhirnya aku ingat untuk membuatkan Eki minuman. Sambil membawa kopi ke ruang tamu aku duduk menemani anak itu.
Wah.. makasih, Bu. Kok repot-repot?” katanya sungkan.
“Gak papa, kok.”
Aku duduk di depannya sambil tak sengaja mengelus perutku. Eki malu-malu melihat perutku.
Bu, udah berapa bulan ya?” tanyanya kemudian sambil meletakkan penanya.
“Menurutmu berapa bulan? Masak nggak tahu?” tanyaku iseng menggodanya.
Tiba-tiba mukanya memerah. Eki lalu menunduk malu. “Ya nggak tahu, bu… Kok saya bisa tahu darimana?”
jawabnya tersipu.
Tiba-tiba aku sangat ingin memberi tahunya, kabar gembira yang sewajarnya juga dirasakan oleh bapak kandung dari anak dalam kandunganku ini. Dengan santai aku menjawab, “Lha bapaknya masak gak tahu umur anaknya?”
Eki kaget, gak menyangka aku akan menjawab sejelas itu. Dia langsung gelagapan, hehehe. Apa yang kau harap dari seorang anak ingusan yang tiba-tiba akan menjadi bapak? Wajahnya melongo menatapku takuttakut. Dia tidak tahu akan menjawab apa. Aku jadi tambah ingin menggodanya.
“Kamu sih bapak yang gak bertanggung jawab. Sudah menghamili pura-pura tidak tahu lagi,” kataku sambil melirik menggodanya
Aku mengelus-elus perutku. Geli juga lihat wajah Eki saat itu. Antara kaget dan bingung serta perasaan-
perasaan yang tidak dimengertinya.
“Aku… eee… maaf, Bu… aku tidak tahu…” Eki menyeka keringat dingin di dahinya.
“Memangnya kamu tidak suka anak dalam perutku ini anakmu?” tanyaku.
“Eh… aku suka banget, Bu.. Aku seneng…” Eki benar-benar kalut.
“Ya udah.. kalau benar-benar seneng, sini kamu rasakan gerakannya,” kataku manja sambil mengelus
perutku.
“Boleh, Bu, aku pegang?” tanyanya khawatir.
“Ya, sini, kamu rasakan aja. Biar kalian dekat,” perutku terlihat sangat membuncit karena baju muslim yang
kupakai hampir tidak muat menyembunyikan bengkaknya.
Eki bergeser dan duduk di sebelahku. Matanya menunduk melihat ke perutku. Takut-takut tangannya menuju ke perutku. Dengan tenang kupegang tangan itu dan kudaratkan ke bukit di perutku. Sebenarnya aku berbohong, karena umur begitu gerakan bayi belum terasa, tapi Eki mana tahu. Dengan hati-hati dia meletakkan telapaknya di perutku.
“Maaf ya, bu,” ijinnya.
Aku membiarkan telapaknya menempel ketat di perutku. Dia diam seolah-olah mencoba mendengar apa yang ada di dalam rahimku. Aku merasa senang sekali karena biar bagaimanapun anak ingusan ini adalah bapak dari anak dalam kandunganku ini.
“Kamu suka punya anak, Ndun?” tanyaku.
“Aku suka sekali, Bu, punya anak dari Ibu. Ohh.. Bu, maafkan saya ya, Bu,” jawab Eki hampir tak
kedengaran
Tangannya gemetar di atas perutku. Eki terlihat sangat kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Aku juga ikut bingung, dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia, bingung, geli, dan macam-macam rasa gak jelas.
Tiba-tiba dadaku berdebar-debar menatap anak muda itu. Anak itu sendiri masih takut-takut melihat mukaku. Kami berdua tiba-tiba terdiam tanpa tahu harus melakukan apa. Tangan Eki terdiam di atas perutku.
Ndun, gimana perasaanmu lihat ibu-ibu yang lagi bengkak-bengkak kayak aku?” tanyaku memecah
kesunyian.
“Saya suka sekali, Bu..” jawabnya.
“Kenapa?”
“Ibu jadi makin cantik.” jawabnya dengan muka memerah.
“Ihh.. cantik dari mana? Aku khan udah tua, dan lagian sekarang badanku kayak gini..” jawabku.
Eki mengangkat wajahnya pelan dan menatapku malu-malu
“Gak kok, Ibu tetep cantik banget…” jawabnya lirih. Tangannya mulai mengelus-elus perutku lagi. Aku merasa geli, yang tiba-tiba jadi sedikit horny. Apalagi tadi malam Mas Prasetyo belum sempat menyetubuhiku.
“Kok waktu itu kamu tegang ngintip aku sama Mas Prasetyo?” tanyaku manja. Mukaku memerah. Aku benarbenar
bernafsu.
Aneh juga, anak kecil ini pun sekarang membuatku pengen disetubuhi. Apa yang salah dengan diriku?
“Aku nafsu lihat badan Ibu…” kali ini Eki menatap wajahku. Mukanya merah. Jelas dia bernafsu. Aku tahu
banget muka laki-laki yang nafsu lihat aku.
Baca Juga :Tante Ngentot Sama Anak Ingusan Part 2
Tante Ngentot Sama Anak Ingusan Part 1
February 18, 2018
agen judi online,
agen judi online terpercaya,
cerita sek terbaru,
cerita sex indonesia,
cerita sex terbaik dan terpopuler